MENGELOLA DAYA LENTING TERUMBU KARANG DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Kamis, Agustus 25, 2011

Meningkatnya ancaman terhadap terumbu karang di regional Bali dan Lombok, khususnya terkait Perubahan Iklim menuntut para pengelola terumbu karang berpacu dengan waktu dalam pengelolaan terumbu karang di daerah kelola terumbu karang masing-masing. Pada kesempatan ini para pengelola belajar untuk menggunakan faktor-faktor kelentingan terumbu karang dalam pertimbangan pengelolaan terumbu karang. Hal itulah yang dipelajari pada materi “Workshop Kelentingan Terumbu Karang dan Perubahan Iklim”, di Amed – Bali.

Workshop yang diadakan pada tanggal 27-29 Juli 2011 ini diselenggarakan oleh Reef Check Indonesia (RCI) berkolaborasi The Coral Reef Alliance (CORAL), The Nature Conservancy (TNC) dan National Atmospheric Administration (NOAA) Coral Reef Watch Program.

Peserta berasal dari perwakilan 2 (dua) regional Kawasan Segitiga Karang, regional Bali dan regional Lombok. Masing-masing diwakili oleh daerah terumbu karang Buleleng (Bali Utara), Karangasem (Bali Timur) dan Gili – Lombok. Tujuan dari workshop ini ialah memperlengkapi kapasitas para pengelola terumbu karang untuk mengimplementasikan secara praktis strategi pelestarian dengan melibatkan pertimbangan daya lenting kawasan.

Nyoman Sugiartha, peserta dari Bali Utara (Daerah Pengelolaan Laut – Bondalem), menyatakan bahwa workshop ini menyediakan kesempatan yang langka dan sangat berharga baginya untuk bisa bertukar pengalaman dan pembelajaran dengan peserta dari kawasan terumbu yang lain. “Mendengar bagaimana pengelolaan terumbu di Gili – Lombok oleh Gili Ecotrust bersama BKKPN. Hal itu semakin memotivasi saya untuk memulai hal serupa di tempat saya”, jelas pria yang juga berprofesi sebagai Pecalang Segara dan Kepala Keamanan sebuah Bungalow ini.

Selama 2 hari peserta diajak untuk bertukar pikiran dan pengalaman mengelola terumbu karang. Kombinasi antara presentasi, sharing dan kerja kelompok membuat para peserta bebas untuk memberi masukan bagi pengelolaan terumbu yang tepat. ” Untuk sebuah masalah dalam pengelolaan, saya mendapat banyak masukan dan ilmu dari teman-teman dari daerah lain, walaupun strategi/pendekatan pengelolaan yang dilakukan dalam menanganinya cenderung bervariasi antara wilayah satu dengan yang lain” jelas Ketut Anis ”Tetapi itu (masukan dan ilmu dari tempat lain) adalah hal yang sangat berharga bagi kami”.

Materi disampaikan oleh Derta Prabuning (RCI), Naneng Setiasih (CORAL Coral Triangle), dan Jensi Sartin (RCI – Direktur). Materi yang disampaikan bervariasi mulai dari teori iklim dan pemutihan karang, peringatan dini, praktikal implementasi hingga bagaimana mengkomunikasikan kepada publik.

Hal menarik dan yang membedakan workshop ini ialah kehadiran peserta yang bukan ber-latar-belakang disiplin ilmu Kelautan, Biologi, Ekologi maupun Terumbu Karang. Mereka adalah Praktisi Lapangan, Nelayan, dan tidak jarang mereka adalah Pecinta Terumbu Karang yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal. Kondisi ini bukannya membuat workshop tidak kondusif, tetapi malah menambah arti pentingnya melibatkan semua sektor dan kalangan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang di daerah kelola terumbu karang masing-masing.

Sumber : Go Blue Indonesia

READ MORE - MENGELOLA DAYA LENTING TERUMBU KARANG DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

PENYAKIT MANUSIA MULAI MENULARI TERUMBU KARANG

White Pox Desease - Pada Terumbu Karang

Berbagai penyakit seperti HIV/AIDS dan flu burung awalnya berasal dari kehidupan liar kemudian menular ke manusia. Namun dalam kasus terbaru, penyakit manusia justru menulari kehidupan liar dan membunuh salah satu spesies terumbu karang.

Baru-baru ini, para ilmuwan dari University of Georgia mengungkap penyebab kematian spesies terumbu karang Tanduk Rusa (Elkhorn) di perairan Karibia. Penyebabnya adalah bakteri Serratia marcescens yang lebih sering ditemukan di tubuh manusia.

Pada manusia, bakteri ini merupakan pemicu berbagai masalah infeksi seperti di salurahn napas, luka terbuka dan saluran kemih. Bakteri ini menyebar dan menulari manusia lain melalui kotoran dan air kencing dari orang-orang yang sudah terinfeksi.

Salah seorang ilmuwan yang terlibat dalam penelitian itu, James Porter mengatakan bahwa selama ini infeksi bakteri Serratia marcescens hanya terjadi pada manusia. Karena itu sangat mengejutkan jika ternyata bakteri ini juga menjangkiti terumbu karang Tanduk Rusa.

Porter mengatakan, bakteri Serratia marcescens menyebabkan penyakit White Pox pada terumbu karang Tanduk Rusa dan menyebabkan kematian. Infeksi bakteri ini ditandai dengan munculnya bercak keputihan, yang lama-kelamaan membuat jaringan terumbu karang berlubang dan kelihtan rangkanya.

Penyebab infeksi White Pox pada terumbu karang dipastikan berasal dari manusia, karena bakteri Serratia marcescens tidak ditemukan pada spesies makhluk hidup yang lain. Bahkan menurut Porter, siput-siput perusak terumbu karang tidak memiliki bakteri ini.

Diyakini, bakteri ini ditularkan oleh manusia ke terumbu karang melalui kotoran dan air kencing. Di kepulauan sekitarnya, sanitasi dan saluran pembuangan kotoran tidak terkelola dengan baik sehingga mencemari perairan dan akhirnya menulari terumbu karang.

Berdasarkan pemuan itu, Porter menyimpulkan bahwa penyakit pada manusia turut memicu kerusakan terumbu karang yang mencapai 50 persen dalam 15 tahun terakhir. Dikutip dari LiveScience, Senin (22/8/2011), laju kerusakan paling tinggi dialami terumbu karang Tanduk Rusa yakni 90 persen.

Terumbu karang Tanduk Rusa atau Elkhorn merupakan spesies terumbu karang yang ukurannya sangat besar dan bisa tumbuh hingga mencapai 2 meter. Sesuai namanya, bentuknya sangat mudah dikenali karena memiliki banyak cabang dan melebar seperti tanduk rusa.

READ MORE - PENYAKIT MANUSIA MULAI MENULARI TERUMBU KARANG

SULAWESI HARUS JADI PRIORITAS UTAMA KONSERVASI

Rabu, Agustus 24, 2011

Sulawesi harus jadi prioritas tertinggi dalam konservasi di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh guru besar matematika dan ekologi University of Queensland, Hugh Possingham, dalam kuliah umum bertajuk "The Business of Biodiversity : Decision Science for Conservation Problem", Selasa (16/8/2011) di Kedutaan Australia, Jakarta.

"Indonesia harus mengkaji prioritas konservasinya. Tapi berdasarkan analisis, saya merekomendasikan bahwa Sulawesi harus menjadi prioritas tertinggi dalam konservasi," ungkap Possingham.

Possingham mengatakan, Sulawesi menjadi yang paling utama sebab termasuk dalam kawasan Wallacea. Kawasan Wallacea memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, baik di darat maupun lautannya dan relatif belum banyak diperhatikan dibanding Sumatera dan Kalimantan.

Biodiversitas di Sulawesi menurutnya juga penting bagi dunia. Lebih lanjut, Possingham menuturkan, pemilihan Sulawesi bukan berarti mengabaikan masalah yang terjadi di pulau-pulau lain. Namun, dengan budget yang terbatas, pemilihan lokasi memang harus dilakukan sehingga bisa mendapat manfaat tertinggi dalam konservasi serta meminimalkan alokasi budget di tempat yang kurang perlu.

"Setelah Sulawesi, prioritasnya Jawa dan Bali, lalu Borneo dan wilayah Peninsular Malaysia," kata Possingham yang juga Direktur Australian Research Council Center of Excellence for Environmental Decision.

Possingham menggarisbawahi, prioritas konservasi yang dikembangkannya didasarkan pada perhitungan matematis yang melihat tiga faktor, jumlah spesies endemik yang ada di wilayah tertentu, budget yang harus dikeluarkan serta kemungkinan kesuksesan program konservasi. Scoring tiap wilayah kemudian dihitung dan hasilnya menyatakan prioritas wilayah.

Perhitungan matematis yang dikembangkan Possingham tidak hanya berguna untuk penetapan lokasi prioritas, tetapi juga spesies prioritas yang mesti diselamatkan. Ia mengatakan, banyak program konservasi saat ini yang menaruh perhatian pada spesies yang paling terancam punah, padahal pendekatan itu tak selalu tepat. Possingham percaya, perhitungan matematis sangat penting dalam konservasi.

"Ini seperti menjadwalkan kereta api, kalau tak memakai matematika, maka akan terlewat dan takkan berjalan," pungkasnya.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - SULAWESI HARUS JADI PRIORITAS UTAMA KONSERVASI

PROF POSSINGHAM BERIKAN KULIAH UMUM

Keanekaragaman hayati Taman Nasional Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hingga kini masih jadi incaran peneliti.

Kedutaan Besar Australia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akan menyelenggarakan kuliah umum oleh Profesor Possingham, Selasa (16 /8/2011), dengan tajuk "Bisnis Keanekaragaman Hayati: Ilmu Keputusan Masalah Konservasi".

Kuliah umum ini merupakan salah satu bagian dari rencana kunjungan ke Indonesia oleh ilmuwan besar Profesor Hugh Possingham pada 15-16 Agustus 2011.

Demikian siaran pers dari Kedutaan Besar Australia yang diterima Kompas, Senin (15/8/2011) pagi.

Possingham akan memberikan kuliah dan diskusi dengan anggota masyarakat ilmu pengetahuan Indonesia, pejabat pemerintah, dosen dan mahasiswa tentang ilmu konservasi dan alokasi dana. Possingham adalah profesor Ekologi dan Matematika di Universitas Queensland, anggota dewan Akademi Ilmu Pengetahuan Australia, dan Direktur Pusat Unggu lan Keputusan Lingkungan Hidup di Dewan Penelitian Australia.

"Saya yakin kunjungan Profesor Possingham akan memberi inspirasi kepada para ilmuwan dan pembuat kebijakan konservasi Indonesia untuk terus melanjutkan karya besar mereka dalam bida ng mereka masing-masing. Kunjungan tersebut juga akan menawarkan kesempatan yang baik kepada ilmuwan Australia dan Indonesia untuk memperdalam pengetahuan mereka dan bertukar gagasan tentang kesempatan-kesempatan penelitian lebih lanjut," ujar Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty.

Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakin kunjungan dan kuliah Possingham akan memperkukuh hubungan dan kerja sama penelitian antara Indonesia dan Australia. Kunjungan Possingham ke Indonesia adalah bagian dari program Seri Pembicara Internasional di Asia yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Australia.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - PROF POSSINGHAM BERIKAN KULIAH UMUM

LINDUNGI HIU PAUS DI TELUK CENDERAWASIH

Hiu paus (Rhincodon typus) di perairan Kwatisore, Kabupaten Nabire, Papua, harus dilestarikan dengan mengategorikan sebagai satwa dilindungi. Pemerintah jangan terlambat mengantisipasi punahnya hiu paus yang terlihat sepanjang tahun di Taman Nasional Teluk Cendrawasih.

Menurut Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) Djati Witjaksono Hadi, hiu paus atau biasa disebut gurano bintang oleh masyarakat lokal termasuk satwa air yang hanya ditemui di perairan Papua, Filipina, Australia, dan Afrika Selatan. Hiu ini beberapa kali terlihat di Sabang, dan Selat Madura, tetapi tak sepanjang tahun.

"Hiu ini bermigrasi mencari tempat makan dan bertelur. Namun, di perairan Kwatisore, Nabire, selama tiga tahun kami mengamati, hiu paus selalu terlihat. Tidak seperti di Australia yang hanya terlihat saat musim panas," kata Djati, Selasa (9/8/2011).

Hiu paus diperkirakan ada sejak 60 juta tahun lalu. Ia mampu hidup sampai umur 150 tahun dengan panjang hingga 14 meter. Hiu yang dijuluki hiu bodoh, karena jinak dan tidak agresif, memasuki usia subur pada umur 30 tahun. Reproduksinya relatif lambat dibandingkan dengan ikan lain. TNTC mencatat, tahun 2011, ada sekitar 40 hiu paus di perairan Teluk Cendrawasih.

Pemerintah perlu meningkatkan status perlindungan hiu paus. Saat ini, perlindungan hanya mengacu International Union for the Conservation of Nature dan Resources bahwa hiu paus adalah satwa yang rentan.

Pemerintah Indonesia, kata Djati, harus mencantumkan hiu paus sebagai satwa dilindungi dan memasukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. "Saat ini sedang dibahas di Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam, dan menunggu uji ilmiah LIPI," kata Djati.

Makanan utama hiu paus adalah ikan puri dan plankton. Tidak seperti hiu lain yang memiliki gigi tajam, hiu ini hanya memiliki gigi halus di ujung bibir. Ia menyedot air laut dan menjaring ikan kecil yang masuk.

Keberadaan hiu paus sepanjang tahun adalah peluang bagi sektor pariwisata Papua. Di Kwatisore, hiu-hiu ini berenang di sekitar bagan ikan milik nelayan. Dengan melempar ikan puri, hiu paus naik ke permukaan air. Adapun di Australia, wisatawan harus menunggu waktu tertentu dan hiu paus digiring lebih dulu agar bisa ditonton.

Djati berharap masyarakat diberdayakan dan menikmati manfaat hiu paus. Daya tarik wisata yang ditawarkan kepada turis adalah menyelam dan snorkeling menikmati keindahan hiu paus sambil memberi makan.

READ MORE - LINDUNGI HIU PAUS DI TELUK CENDERAWASIH

ILMUWAN TEMUKAN FOSIL HIDUP BERUMUR 200 JUTA TAHUN

Senin, Agustus 22, 2011

Belut ini memiliki banyak keunggulan yang dimiliki belut primitif.


Ahli biologi melaporkan sebuah spesies belut baru yang ditemukan dalam gua bawah laut sedalam 35 meter di tepi sebuah pulau di negara Palau, Pasifik Barat. Para ahli menyebutnya sebagai fosil hidup yang mirip dengan belut pertama yang berenang sekitar 200 juta tahun yang lalu.

Seperti dikutip dari Daily Telegraph, 20 Agustus 2011, temuan itu dipublikasikan dalam jurnal Proceeding Royal Society B. Penemuan sendiri itu terjadi Maret tahun lalu oleh tim yang dipimpin oleh Masaki Miya dari Institut Sejarah Museum Alam di Chiba, Jepang.

Spesies belut yang ditemukan berwujud ikan kecil berwarna cokelat yang berbeda dengan karakteristik anatomi belut modern. Sebaliknya, ia memiliki banyak keunggulan yang dimiliki belut primitif yang hidup di era awal Mesozoikum, saat dinosaurus menguasai bumi.

Kesamaannya di antaranya adalah ukuran kepala yang tidak proporsional, tubuh terkompresi menjadi pendek, kerah seperti bukaan pada insang, sinar pada sirip ekor dan ujung tulang rahang yang disebut premaxilla. Temuan ini sendiri sangat luar biasa dan bahkan belut tersebut dimasukkan ke dalam satu spesies terpisah, yakni Protoanguilla Palau.

Ketika pertama dijumpai, menggunakan jaring tangan dan lampu, peneliti mengumpulkan delapan contoh belut yang memiliki panjang sekitar panjang 6-9 centimeter tersebut. Setelah itu, tes DNA dilakukan untuk menilai sejarah genetik belut.

Menurut penelitian, sampai saat ini, Palau merupakan satu-satunya tempat penemuan spesies tersebut. Meski demikian, peneliti memperkirakan, distribusi belut ini masih cukup luas.

Sebagai informasi, Charles Darwin menyebut dengan istilah fosil hidup untuk menggambarkan spesies yang masih selamat hingga saat ini meski telah turun temurun selama jutaan tahun.

READ MORE - ILMUWAN TEMUKAN FOSIL HIDUP BERUMUR 200 JUTA TAHUN

 
 
 

TENTANG FORKOM

FORKOM KOMUNIKASI MASYARAKAT PENCINTA TERUMBU KARANG merupakan wadah komunikasi diantara masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian ekosistem terumbu karang, COREMAP dengan komponen penyadaran masyarakat telah berupaya mengkampanyekan berbagai program kepada masyarakat luas. Selengkapnya

TRANSLATE POST

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Forkom Komunitas