MAYORITAS TERUMBU KARANG DI BANGKA : MATI

Selasa, Mei 10, 2011

Mayoritas terumbu karang transplantasi di Teluk Limau, Bangka mati. Kematian diduga akibat tutupan sedimen yang berasal dari penambangan laut.

Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung (UBB) Indra Ambalika mengatakan, 100 terumbu karang transplantasi ditanam pada 2009.

"Pada pemantuan Oktober 2010 diketahui empat terumbu karang buatan itu mati. Terumbu karang itu tertutup lumpur. Sisanya terlihat masih hidup dan mulai menempel di konsentrat balok semen yang dirancang untuk terumbu karang transplantasi itu," ujarnya di Pangkal Pinang, Senin (2/5/2011).

Namun, tim UBB pesimis terhadap terumbu karang lain saat memantau lokasi pada Maret 2011. Saat itu ada 17 kapal hisap timah dan puluhan tambang apung beroperasi di sekitar lokasi transplantasi. Kami khawatir karena kapal-kapal hisap dan tambang apung itu membuang berton-ton lumpur limbah penambangan. Arus laut membawa lumpur ke lokasi penanaman terumbu karang, tuturnya.

"Kekhawatiran itu terbukti dalam pemantauan pada Minggu (1/5/2011). Hanya dua terumbu karang bertahan. Sementara 98 lain mati karena tertutup lumpur. Terumbu karang tidak bisa bertahan karena sedimen lumpur terlalu tinggi. Air terlalu keruh dan tidak cocok untuk pertumbuhan. Padahal, dulu lokasi itu kami pilih karena ekosistemnya masih mendukung. Setelah kapal hisap beroperasi, daya dukung ekosistem menyusut drastis," tuturnya.

Sementara Kepala Dinas Kelautan Kepulauan Bangka Belitung Sugianto mengatakan, hal itu dampak ketidakjelasan tata ruang di Bangka Belitung. "Peraturan tata ruang tidak kunjung selesai dibahas karena banyak faktor. Belum ada pembagian jelas suatu wilayah untuk apa. Jadi, terbuka kemungkinan semua wilayah dipakai untuk apa saja," tuturnya.

Pihaknya sudah membuat ketetapan penambangan harus beroperasi minimal 1,5 mil dari pantai. Wilayah dalam radius 1,5 mil itu dianggap tempat berkembang biak ikan. Selain itu, sebagian nelayan juga lebih aman bergerak dalam wilayah itu.

Namun, banyak penambangan beroperasi di dalam wilayah 1,5 mil itu. Tambang apung dengan jarak kurang dari 200 meter dari pantai bisa terlihat di hampir seluruh pantai di Pulau Bangka. Tambang apung akan lebih banyak lagi beroperasi bila ada kapal hisap atau kapal keruk di suatu pantai.

Sampai saat ini, PT Timah saja mengoperasikan 11 kapal keruk. Sementara mitra PT Timah mengoperasi 55 kapal hisap. Tidak di ketahui berapa jumlah kapal keruk dan kapal hisap yang dioperasikan pihak lain di perairan Bangka Belitung. Pasalnya, tidak ada data pasti.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - MAYORITAS TERUMBU KARANG DI BANGKA : MATI

PERUSAKAN KARANG, MASIH ANCAM WAKATOBI

Kehidupan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Selasa (3/5/2011). Di tempat ini sulit menyebut warga Bajo sebagai suku pengembara. Sebagian warga suku Bajo di Desa Mola tidak lagi hidup di atas laut lepas. Mereka sudah tinggal di dalam rumah berdinding batu bata dan beratap seng.

Aktivitas penambangan karang di Wakatobi masih menjadi ancaman bagi kelangsungan ekosistem laut. Meski jumlah penambang sudah turun, beberapa masih beroperasi, di antaranya yang berasal dari Wangi-wangi.
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a3126491&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=951&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a3126491' border='0' alt='' /></a>

Koordinator Program WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, beberapa tahun lalu teridentifikasi 72 penambang karang, 30 di antaranya murni sebagai penambang dan sisanya sebagai sampingan.

"Setelah pembinaan jumlahnya sudah menurun tapi masih ada," kata Sugiyanta. Menurut Sugiyanta, faktor yang mendorong aktivitas penambangan adalah tak adanya pilihan mata pencaharian, lebih mudah mendapat uang dan adanya permintaan dari pasar.

Penambangan kadang juga dilakukan untuk kebutuhan pembangunan pribadi. Aktivitas penambangan biasanya dilakukan dengan linggis dan mengganggu proses budidaya rumput laut. Sugiyanta mengatakan, penambangan membuat air menjadi keruh sehingga mengganggu kesuburan rumput laut yang dibudidayakan warga lain.

Meski penambangan karang jelas dilarang, namun penting menemukan upaya strategis untuk mengajak warga berhenti melakukannya, tak bisa langsung melarang. "Kita sedang upayakan alternatif mata pencaharian, seperti budidaya rumput laut dan ekoturisme," kata Sugiyanta.

Menurut Sugiyanta, jika dibiarkan, penambangan karang akan berdampak negatif pada ekosistem dan warga sendiri. "Dampaknya adalah penurunan jumlah ikan karang. Secara tidak langsung, nanti juga akan berdampak pada kehidupan nelayan," ucap Sugiyanta.

Kepala Bidang Pengambangan Perikanan DKP Wakatobi Bahrul Haer mengatakan, aktivitas penambangan yang juga mengganggu adalah penambangan pasir. Menurutnya, aktivitas penambangan pasir justru lebih sulit diatasi.

"Kalau karang dilarang, untuk membangun masih bisa datangkan batu dari darat. Tapi kalau pasir, masih perlu dicari solusinya," kata Bahrul. Ia mengatakan saat ini masih mengupayakan cara penyelesaiannya, termasuk upaya mendorong perikanan tangkap ramah lingkungan.

Wilayah Wakatobi yang terdiri dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongo adalah kawasan Taman Nasional Laut. Penyelesaian masalah lingkungan medorong suksesnya program konservasi wilayah yang masuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia itu.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - PERUSAKAN KARANG, MASIH ANCAM WAKATOBI

KERANG RAKSASA MAKIN LANGKA

Tridacna squamosa

Populasi kerang laut raksasa atau kima di sekitar perairan Sulawesi Tenggara makin langka akibat maraknya perburuan terhadap hewan dilindungi itu. Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki langkah konservasi apapun untuk melestarikan hewan yang berperan vital dalam keseimbangan ekosistem laut dangkal itu.

Ketua Konservasi Taman Laut Kima Toli-toli, Habib Nadjar Buduha, mengatakan, perburuan kima (Tridacna) di wilayah pesisir timur Sultra sudah terjadi sejak lama. "Kima diburu untuk diambil dagingnya dan cangkangnya sebagai hiasan," kata Habib saat ditemui di pusat konservasi kima yang didirikannya secara swadaya di Kabupaten Konawe, Sultra Minggu (8/5/2011).

Dari temuan-temuannya di lapangan, selain nelayan lokal, banyak pula nelayan asing yang berkedok mencari ikan namun sebenarnya berburu kima di perairan Sultra hingga Sulawesi Tengah. "Seringkali aat menyelam, kami tinggal menemukan cangkang-cangkangnya saja di dasar laut," ujar Habib.

Kondisi itu disesalkan Habib. Pasalnya, di wilayah perairan Indonesia hidup tujuh dari sembilan jenis kima yang ada di dunia. "Dua di antaranya merupakan yang paling langka di dunia, yakni Tridacna gigas dan Tridacna derasa yang sekarang hanya tersisa di perairan Sulawesi hingga Papua," katanya.

Ukuran kima bervariasi mulai dari sekepalan tangan orang dewasa hingga bisa tumbuh mencapai panjang 1,3 meter dan berbobot 250 Kg. Harga daging kima yang mencapai 150 dollar AS per Kg di pasaran internasional membuatnya menjadi komoditas incaran.

Karena itu, Habib berharap pemerintah pusat bisa segera turun tangan untuk melindungi biota laut ini. Pemerintah negara-negara lain di Asia, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, hingga Australia sudah melakukan konservasi kima. "Hanya Indonesia yang belum," ujarnya.

Kima memegang peranan penting dalam ekosistem laut dangkal karena ia menjadi filter alami air laut dan cangkangnya menjadi tempat hidup berbagai biota terumbu karang. Telur dan anak-anak kima juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan laut.

Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Bidang Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sultra Ridwan Bolu mengakui terbatasnya jumlah personil maupun anggaran untuk mengawasi perburuan kima tersebut.

DKP Sultra hanya bisa menggelar patroli laut sekali dalam sebulan di satu kabupaten/kota. Dengan jumlah 12 kabupaten/kota di Sultra, maka DKP hanya bisa menggelar satu kali patroli di setiap kabupaten dalam setahun.

Ridwan menambahkan, selain kendala teknis itu, banyak pula masyarakat yang belum paham tentang status kima sebagai hewan yang dilindungi. "Banyak nelayan yang mengambil kima untuk konsumsi sehari-hari," ujarnya.

Untuk mengatasi kendala itu, Ridwan menyatakan pihaknya mengadopsi sistem pengawasan berbasis masyarakat. Masyarakat didorong membentuk kelompok-kelompok untuk mengawasi wilayah lautnya. "Saat ini sudah terbentuk 80 kelompok di seluruh Sultra," katanya.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - KERANG RAKSASA MAKIN LANGKA

 
 
 

TENTANG FORKOM

FORKOM KOMUNIKASI MASYARAKAT PENCINTA TERUMBU KARANG merupakan wadah komunikasi diantara masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian ekosistem terumbu karang, COREMAP dengan komponen penyadaran masyarakat telah berupaya mengkampanyekan berbagai program kepada masyarakat luas. Selengkapnya

TRANSLATE POST

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Forkom Komunitas