Para peneliti kelautan dunia menemukan sekitar 300 jenis alga beracun di
seluruh perairan dunia. Sekitar 35 jenis alga berbahaya tersebut hidup
di perairan Indonesia. Alga yang termasuk ke dalam harmful algal blooms (HABs) ini dimakan oleh ikan dan hewan laut lainnya yang terkategori sebagai seafood (makanan laut).
"Padahal, seafood tersebut kebanyakan dikonsumsi oleh manusia,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Oseanografi LIPI), Zainal Arifin, pada acara Training dan Seminar Seafood Safety in Indonesia, Senin (20/2), di Jakarta.
Acara tersebut terselenggara atas kerja sama antara LIPI dengan United States Agency for International Development (USAID). Para peserta yang hadir berasal dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, USAID, otoritas pembuat kebijakan dari sejumlah kementerian dan para peneliti LIPI.
Zaenal menjelaskan, ada beberapa perairan di Indonesia yang perlu diwaspadai karena potensial sebagai habitat alga beracun terutama di kawasan teluk. Perairan tersebut adalah perairan Ambon, Lampung, Kaobe (Sulawesi), Kalimantan Timur, dan Jakarta.
"Namun, untuk perairan di Teluk Jakarta tidak perlu dikhawatirkan karena bukan konsentrasi habitat alga beracun," tandasnya. Pada umumnya, alga beracun akan berkembang pesat pada musim panas (dry season).
Vera Trainer, Koordinator Penelitian HABs dan Human Health dari NOAA menambahkan, perlu langkah strategis menetapkan program pemantauan perluasan organisme berbahaya tersebut. Di negara maju, pemantauan dilakukan dengan menggunakan satelit. Selain itu, diperlukan pula pertukaran informasi dengan negara-negara yang telah melakukan penelitian lebih detil tentang hal itu, seperti Amerika Serikat.
Menurutnya, perlu pemahaman komprehensif untuk mendeteksi alga beracun yang masuk ke dalam makanan laut. Misalnya saja, akibat limbah berbahaya yang dibuang ke laut dari beragam industri yang tidak memiliki pengolahan limbah termasuk limbah nutrient dari aquaculture.
Kandungan fosfat, nitrat dan silikat yang berbahaya dari limbah termakan oleh alga sehingga alga menjadi beracun. Kemudian, alga beracun akan dimakan oleh ikan dan hewan laut lainnya. Mengkonsumsi seafood tersebut tentu berbahaya bagi manusia, bahkan bisa berakibat kematian.
Dikatakannya, jenis alga yang memakan limbah beracun ini terbagi dua kategori, yaitu alga yang tidak beracun dan alga yang beracun. "Jenis alga yang beracun biasanya banyak ditemui di area coral reef (karang), tentu berbahaya pula untuk dikonsumsi," imbuh Vera.
Upaya agar aman dalam mengkonsumsi makanan laut adalah dengan memilih ikan atau makanan laut sejenisnya yang berumur muda. Sebab, kandungan racun tentu lebih sedikit ketimbang pada ikan yang berumur lebih tua di mana racun telah terakumulasi pada ikan tersebut.
Langkah pencegahan agar makanan laut tetap aman dikonsumsi adalah dengan menggunakan test kit (tes untuk mendeteksi racun di dalam alga) secara berkala. "Tes dianjurkan seminggu sekali," ujarnya. (Sumber: Humas LIPI)
"Padahal, seafood tersebut kebanyakan dikonsumsi oleh manusia,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Oseanografi LIPI), Zainal Arifin, pada acara Training dan Seminar Seafood Safety in Indonesia, Senin (20/2), di Jakarta.
Acara tersebut terselenggara atas kerja sama antara LIPI dengan United States Agency for International Development (USAID). Para peserta yang hadir berasal dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, USAID, otoritas pembuat kebijakan dari sejumlah kementerian dan para peneliti LIPI.
Zaenal menjelaskan, ada beberapa perairan di Indonesia yang perlu diwaspadai karena potensial sebagai habitat alga beracun terutama di kawasan teluk. Perairan tersebut adalah perairan Ambon, Lampung, Kaobe (Sulawesi), Kalimantan Timur, dan Jakarta.
"Namun, untuk perairan di Teluk Jakarta tidak perlu dikhawatirkan karena bukan konsentrasi habitat alga beracun," tandasnya. Pada umumnya, alga beracun akan berkembang pesat pada musim panas (dry season).
Vera Trainer, Koordinator Penelitian HABs dan Human Health dari NOAA menambahkan, perlu langkah strategis menetapkan program pemantauan perluasan organisme berbahaya tersebut. Di negara maju, pemantauan dilakukan dengan menggunakan satelit. Selain itu, diperlukan pula pertukaran informasi dengan negara-negara yang telah melakukan penelitian lebih detil tentang hal itu, seperti Amerika Serikat.
Menurutnya, perlu pemahaman komprehensif untuk mendeteksi alga beracun yang masuk ke dalam makanan laut. Misalnya saja, akibat limbah berbahaya yang dibuang ke laut dari beragam industri yang tidak memiliki pengolahan limbah termasuk limbah nutrient dari aquaculture.
Kandungan fosfat, nitrat dan silikat yang berbahaya dari limbah termakan oleh alga sehingga alga menjadi beracun. Kemudian, alga beracun akan dimakan oleh ikan dan hewan laut lainnya. Mengkonsumsi seafood tersebut tentu berbahaya bagi manusia, bahkan bisa berakibat kematian.
Dikatakannya, jenis alga yang memakan limbah beracun ini terbagi dua kategori, yaitu alga yang tidak beracun dan alga yang beracun. "Jenis alga yang beracun biasanya banyak ditemui di area coral reef (karang), tentu berbahaya pula untuk dikonsumsi," imbuh Vera.
Upaya agar aman dalam mengkonsumsi makanan laut adalah dengan memilih ikan atau makanan laut sejenisnya yang berumur muda. Sebab, kandungan racun tentu lebih sedikit ketimbang pada ikan yang berumur lebih tua di mana racun telah terakumulasi pada ikan tersebut.
Langkah pencegahan agar makanan laut tetap aman dikonsumsi adalah dengan menggunakan test kit (tes untuk mendeteksi racun di dalam alga) secara berkala. "Tes dianjurkan seminggu sekali," ujarnya. (Sumber: Humas LIPI)
0 komentar:
Posting Komentar