BLUE CARBON UNTUK WARGA PESISIR

Rabu, April 27, 2011

Wartawan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menyusuri hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Bali, 10 April 2011

Wayan Sukitra melepaskan tali yang mengikat setiap perahu dengan tambatannya. Ada delapan perahu yang dinaiki anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), yang menyusuri hutan mangrove seluas 9 kilometer persegi di Pulau Nusa Lembongan, Bali.

Setelah berkeliling dengan perahu yang harga sewanya Rp 70 ribu per unit, peserta diajak mengunjungi kafe dan toko cendera mata. "Ini usaha dari kelompok masyarakat Mangrove Tour," kata Sukitra, yang menjadi ketua kelompok itu, kepada wartawan yang mengunjunginya pada 10 April lalu. Pada Juli hingga September, ujarnya, banyak turis asing berwisata ke hutan mangrove di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan.

Hutan ini menjadi tempat wisata semenjak 2003. Sebelumnya, kata Sukitra, warga menebangi mangrove untuk kayu bakar dan lahan industri garam. Alhasil di beberapa tempat terjadi abrasi. Kemudian seorang turis asal Prancis mengajak Sukitra mengembangkan wisata mangrove.

Warga lantas menanam bakau pada lahan kosong dan membentuk Mangrove Tour. Sekarang kelompok ini memiliki 33 perahu dan masyarakat menggunakan kompor gas untuk memasak. Mereka juga menyajikan hidangan laut, seperti kepiting bakau, untuk wisatawan serta aktivitas menyelam.

Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti Center for International Forestry Research (Cifor), apa yang dilakukan warga Jungut Batu merupakan bagian dari adaptasi perubahan iklim. "Hutan bakau memiliki peran yang besar dan selama ini belum dieksplorasi," katanya kepada wartawan peserta workshop yang diadakan Cifor dan SIEJ di Bali pada 8-11 April 2011.

Ternyata, bukan hanya adaptasi, tapi hutan bakau juga memiliki peran dalam mitigasi perubahan iklim. Tanaman ini memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Kepadatan karbon hutan mangrove lebih tinggi empat kali daripada hutan tropis umumnya," demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan Cifor dan USDA Forest Services (Departemen Pertanian Amerika Serikat Bidang Kehutanan).

Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam Nature GeoScience edisi 3 April 2011. Riset ini dilakukan oleh Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham, dan Markku Kanninen. Sampel penelitian mereka diambil dari hutan mangrove di Kepulauan Mikronesia (Kosrae, Yap, dan Palau), Indonesia (Sulawesi, Jawa, serta Kalimantan), dan Sundarbans (Delta Sungai Gangga-Brahmaputra serta Bangladesh).

Menurut Daniel, ini merupakan studi yang pertama kali mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan mangrove. Tim peneliti memperkirakan tingkat pembusukan dan penguraian di hutan mangrove lebih cepat daripada hutan di daratan.

Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove daripada di atas permukaan tanah dan air. Jumlah karbon yang tersimpan di atas tanah sebanyak 100-120 ton per hektare. Sementara yang di bawah tanah bisa 1.200-1.300 ton setiap hektare. "Itu untuk semua jenis mangrove," kata Daniel.

Stephen Crooks, Direktur Perubahan Iklim Biro Konsultasi Perlindungan, Peningkatan, dan Perbaikan Ekosistem yang Bergantung pada Air (ESA-PWA), menjelaskan, hutan mangrove, rawa pasang-surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun.

Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun kantong-kantong karbon. "Juga menyimpan blue carbon dalam jumlah besar ke sedimen dasar laut," kata Crooks, yang hadir di Bali sebagai pembicara dalam lokakarya Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation dan Mitigation.

Cecep Kusmana, ahli mangrove dari Institut Pertanian Bogor, juga menjadi pembicara dalam forum tersebut. Pada 2008 hingga 2010, dia melakukan penelitian mangrove jenis api-api di Muara Angke, Jakarta Utara. "Mangrove usia 2 tahun berhasil menyerap 230 gram karbon dioksida per 100 gram daun," katanya. Sedangkan satu pohon mangrove tersebut berat total daunnya sampai 1,5 kilogram.

Daniel Murdiyarso dan teman-temannya juga menghitung bahwa perusakan dan degradasi ekosistem mangrove diperkirakan menghasilkan hingga 10 persen dari emisi deforestasi global. Sebab, yang hilang bukan hanya karbon di atas permukaan mangrove, tapi juga di bagian bawahnya.

Di Indonesia, saat ini ada 3,1 juta hektare mangrove atau 22,6 persen di dunia. Hutan ini terancam rusak jika tidak ada upaya melindunginya. Di Kalimantan saja, laju kerusakannya mencapai 7 persen dalam lima tahun terakhir.

Perusakan disebabkan oleh penggunaan lahan untuk budi daya perikanan, infrastruktur, dan aktivitas pembangunan lainnya. Ancaman terhadap mangrove bertambah akibat naiknya permukaan air laut, yang diperkirakan mencapai 18-79 sentimeter pada abad ini. Di Jawa, dampak perusakan mangrove telah dirasakan, yaitu abrasi tinggi dan kesulitan mencari ikan.

Daniel berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melindungi hutan mangrove. Apalagi penelitian Cifor dan USDA menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Saat ini belum ada insentif bagi perlindungan hutan mangrove," kata Crooks.

Menurut Crooks, upaya tersebut memiliki potensi untuk dikaitkan dengan skema REDD+ (Reduction Emission from Degradation and Deforestation plus) dan mekanisme pendanaan karbon lainnya. Tanpa menunggu kucuran dana dari luar negeri, kelompok masyarakat Mangrove Tour di Pulau Nusa Lembongan, Bali, sudah menunjukkan kepada dunia bahwa, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tidak harus merusak lingkungan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

TENTANG FORKOM

FORKOM KOMUNIKASI MASYARAKAT PENCINTA TERUMBU KARANG merupakan wadah komunikasi diantara masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian ekosistem terumbu karang, COREMAP dengan komponen penyadaran masyarakat telah berupaya mengkampanyekan berbagai program kepada masyarakat luas. Selengkapnya

TRANSLATE POST

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Forkom Komunitas