Koordinator Program WWF Wakatobi Sugiyanta mengatakan, beberapa tahun lalu teridentifikasi 72 penambang karang, 30 di antaranya murni sebagai penambang dan sisanya sebagai sampingan.
"Setelah pembinaan jumlahnya sudah menurun tapi masih ada," kata Sugiyanta. Menurut Sugiyanta, faktor yang mendorong aktivitas penambangan adalah tak adanya pilihan mata pencaharian, lebih mudah mendapat uang dan adanya permintaan dari pasar.
Penambangan kadang juga dilakukan untuk kebutuhan pembangunan pribadi. Aktivitas penambangan biasanya dilakukan dengan linggis dan mengganggu proses budidaya rumput laut. Sugiyanta mengatakan, penambangan membuat air menjadi keruh sehingga mengganggu kesuburan rumput laut yang dibudidayakan warga lain.
Meski penambangan karang jelas dilarang, namun penting menemukan upaya strategis untuk mengajak warga berhenti melakukannya, tak bisa langsung melarang. "Kita sedang upayakan alternatif mata pencaharian, seperti budidaya rumput laut dan ekoturisme," kata Sugiyanta.
Menurut Sugiyanta, jika dibiarkan, penambangan karang akan berdampak negatif pada ekosistem dan warga sendiri. "Dampaknya adalah penurunan jumlah ikan karang. Secara tidak langsung, nanti juga akan berdampak pada kehidupan nelayan," ucap Sugiyanta.
Kepala Bidang Pengambangan Perikanan DKP Wakatobi Bahrul Haer mengatakan, aktivitas penambangan yang juga mengganggu adalah penambangan pasir. Menurutnya, aktivitas penambangan pasir justru lebih sulit diatasi.
"Kalau karang dilarang, untuk membangun masih bisa datangkan batu dari darat. Tapi kalau pasir, masih perlu dicari solusinya," kata Bahrul. Ia mengatakan saat ini masih mengupayakan cara penyelesaiannya, termasuk upaya mendorong perikanan tangkap ramah lingkungan.
Wilayah Wakatobi yang terdiri dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongo adalah kawasan Taman Nasional Laut. Penyelesaian masalah lingkungan medorong suksesnya program konservasi wilayah yang masuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia itu.
Sumber : Kompas Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar